Pelacur.. ato pejuang.. ( Sebuah Renungan dari GM )

** filmnya belum diputar di bioskop2 di Jakarta tapi udah rame di
bicarakan di festival film internasional. Kalo ngga salah kemaren di bawa
ke
Berlin. Merinding bacanya…tragis. .**
Dengan tubuhnya yang gempal perempuan itu memecah batu, dengan tubuhnya

yang
tebal ia seorang pelacur.

Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur. Ia
seorang
isteri yang ditinggalkan suami, (meskipun mereka belum bercerai), ia ibu
dari lima anak yang praktis yatim.

Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun, berangkat ke
sekolah dengan ojek, Nur datang ke tempat kerjanya. Di sana ia mengangkut
batu, kemudian memecah-mecahnya, untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova,

empat tahun, anak bungsunya, selalu dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam
sampai tengah hari.
Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrakan mereka, dan Nur
bisa bermain dengan kedua anak itu. Sampai pukul tiga sore.

Matahari sudah mulai turun, ketika Nur membawa kedua anaknya ke tempat
penitipan milik Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ribu sehari. Lalu ia berdandan:
memasang lipstik tebal, berpupur, mengenakan baju terbaik. Lepas manghrib,

ia naik ojek dari kampung Mujang itu ke Gunung Bolo, 45 menit jaraknya
dengan sepeda motor.

Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina itu, Nur
menjajakan seks. Ia menjual tubuhnya.

Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang menikah dengan

perempuan lain, tak memberinya nafkah. Ia bertemu dengan lelaki itu di
tahun
1992 dalam bis ke Trenggalek. Mereka saling tertarik, dan Sutrisno
menemukan
lowongan buat Nur di Pabrik Rokok "Semanggi" di Kediri. Pekerjaan

mengelinting sigaret itu hanya dijalaninya dua bulan. Nur hamil. Ia harus
menikah.

Ia pun jadi isteri seorang suami yang menghabiskan waktunya di meja judi
dan
botol ciu. Tak ada penghasilan. Tak ada pengharapan. Setelah anak yang

kelima lahir, dalam keadaan putus-asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang
pelacur di Gunung Bolo. Ia bergabung dengan sekitar 80 pekerja seks di
tempat itu, dan jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi sudah

hampir
separuh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan malam mereka
mencari
konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif: Rp 10 ribu sepersetubuhan.

"Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang, selama ini, ketika

melayani tamu?"

”Ah, ya ndak ada,” jawabnya.

Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang pahit. Dalam
film dokumenter yang dibuat Ucu Agustina – salah satu dari *Pertaruhan* ,
empat karya dokumenter tentang perempuan yang layak beredar luas di

Indonesia kini — kedua pelacur itu berbicara tentang hidup mereka seperti
seorang pedagang kecil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara tentang
kerja mereka sehari-hari.

Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalayna Shira Foundation yang

memproduksi *Pertaruhan* , duduk bersama peserta Jakarta International Film
Festival di sebuah kafe di Grand Indonesia – seakan-akan *mall megah *itu
bukan negeri ajaib dalam mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui

mereka di tempat minum Goethe Haus pekan lalu, Mira duduk seperti di warung
yang amat dikenalnya, dengan rokok yang terus menyala (tapi ia menolak
minum
bir) dan Nur memeluk Nova yang dibawanya ikut ke Jakarta.

Haruskah Mira, Nur, merasa lain: nista? Produser, sutradara, dan aktivis
perempuan yang menjamu mereka tak membuat para pelacur itu asing dan rikuh.
Bahkan Tegar dan Nova diurus panitia seakan-akan kemenakan sendiri – dan

dengan kagum saya melihat sebuah generasi Indonesia yang menolak sikap
orang
tua dan guru agama mereka. Mira dan Nur tak akan mereka kirim ke neraka, di
mana pun neraka itu. Ucu Agustina, 32 tahun, sutradara dokumenter ini,

telah
berjalan jauh. Ia lulus dari di IAIN di tahun 2000 setelah enam tahun di
pesantren Darunnajah di Jakarta, di mana murid perempuan bahkan dilarang
membaca Majalah *femina*. Ia kini tahu, agama tak berdaya menghadapi Nur

dan
kaumnya.
Di Tulungagung terdapat sekitar 16 tempat pelacuran. Ada dua yang legal,
yang tiap Ramadhan harus tutup. Tapi sia-sia: di tiap bulan puasa pula para
pelacur yang kehilangan tempat kerja datang antara lain ke Gunung Bolo.

Pekerja di tempat itu bertambah 50%.
Dan bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang dengan hormat ke
wajah Nur: seorang ibu yang mengais dari Nasib untuk mengubah hidup
anak-anaknya? "Mereka harus sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup

emak
mereka", Nur berkata, berkali-kali.

Dengan memecah batu ia dapat Rp 400 ribu sebulan, dengan melacur ia
rata-rata dapat Rp 30 ribu semalam. Dengan itu ia bisa mengirim Tegar ke
sebuah TK Katolik sambil membantu hidup anak-anaknya yang lain yang ia

titipkan di rumah seorang saudara.Nur tegak di atas kakinya sendiri. Ia
contoh yang baik "dialektika" yang disebut Walter Benjamin: seorang
pelacur
— seorang pemilik alat produksi dan sekaligus alat produksi itu sendiri,

seorang penjaja (*Verkäuferin* ) dan barang yang dijajakan (*Ware*) dalam
satu tubuh. Ia buruh; ia bukan pelacur.

Bagi saya ia ”Ibu Indonesia Tahun 2008”.

Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang remang-remang. Memang

tuan dan nyonya yang bermoral mengutuknya. Memang polisi merazianya dan
para
preman memungut paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur
tahu bagaimana tabah. Kebaikan-hati bukan mustahil. Tegar diberi keringanan

membayar uang sekolah di TK Katolik itu. Tiap bulan ke Gunung Bolo, seperti
ke belasan tempat pelacuran di Tulungagung itu, datang tim dari CESMID,
organisasi lokal yang dengan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke

rumah penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk membantu Tegar
berbahasa Inggris dan mengerti bilangan.

Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupakan-Nya) . Ia
menyebut-Nya "Yang di Atas". Mungkin itu untuk menunjuk sesuatu yang

jauh –
tapi justru tak merisaukannya, karena manusia, yang di bawah, tetap
berharga: bernilai dalam kerelaannya.

*Goenawan Mohamad*


Life isn't fair, but it's still good..
Life is too short to waste time hating anyone..

Don't compare your life to others'.. you have no idea what their journey is all about…

14 responses to “Pelacur.. ato pejuang.. ( Sebuah Renungan dari GM )

  1. sya pernah baca ini di tempo, untuk peringatan hari ibu kalo gak salah…saya sempat nagis bacanya…waktu itu mau saya tunjukkan ke ayah, tapi belum sempat sepertinyaayah yang tau persis bagaimana perempuan berjuang di tempat itubetapa masih ada oknum yang mewajibkan mereka untuk suntik antibiotik tiap hari senin di puskesmas dengan membayar sekian rupiah agar tidak terkena PMS…padahal kita tau antibiotik akan resisten kalau diberikan terus menerus…buat saya, mereka adalah pejuang…sayang, buat yang tak mengerti, mereka dianggap sampah, dinista dan dihujat, tanpa mau memberikan sekedar jalan keluar…

  2. apa yg bisa menyelamatkan Nur dr masalahnya ?

  3. duniablue said: sya pernah baca ini di tempo, untuk peringatan hari ibu kalo gak salah…saya sempat nagis bacanya…waktu itu mau saya tunjukkan ke ayah, tapi belum sempat sepertinyaayah yang tau persis bagaimana perempuan berjuang di tempat itubetapa masih ada oknum yang mewajibkan mereka untuk suntik antibiotik tiap hari senin di puskesmas dengan membayar sekian rupiah agar tidak terkena PMS…padahal kita tau antibiotik akan resisten kalau diberikan terus menerus…buat saya, mereka adalah pejuang…sayang, buat yang tak mengerti, mereka dianggap sampah, dinista dan dihujat, tanpa mau memberikan sekedar jalan keluar…

    Oh ya.. saya yg telat baca.. tapi belum terlambat untuk menghargai mereka sebagai pejuang..Bukan cita-cita mereka kalau mereka ada di tempat itu.

  4. siantiek said: apa yg bisa menyelamatkan Nur dr masalahnya ?

    Belum tahu Nan.. gw masih terbengong2 bacanya..semoga aja dengan diputarnya film itu ada perubahan yang berarti buat Nur- lagi2 saya cuma bisa berdoa –

  5. ibuseno said: semoga aja dengan diputarnya film itu ada perubahan yang berarti buat Nur

    amiiiin

  6. bellaferta said: it’s real ?

    Iya kang.. mungkin kalo ‘si ayah ‘ nya Ika masih ada.. beliau bisa menceritakan dengan detail kondisi di sana.

  7. hiks, ibu… jadi kangen ayah… :p

  8. duniablue said: hiks, ibu… jadi kangen ayah… :p

    *peluk Ika* jadi kangen juga

  9. sy tdk membenarkan apa yg mereka lakukan, tapi dimata sy yg seorg ibu mereka jauhhh lebih baik drpd ibu2 yg membakar anaknya hanya karna stress dg himpitan ekonomi. mereka berjuang dg cara yg mereka bisa untuk anak2nya..then i cried..

  10. dinoflove said: sy tdk membenarkan apa yg mereka lakukan, tapi dimata sy yg seorg ibu mereka jauhhh lebih baik drpd ibu2 yg membakar anaknya hanya karna stress dg himpitan ekonomi. mereka berjuang dg cara yg mereka bisa untuk anak2nya..then i cried..

    Yup Mbak Diah, di agama apapun melacur adalah pekerjaan yang dilarang agama. Sependapat juga.. dr pada anaknya di butuh atau malah anaknya sendiri di lacurkan krn himpitan ekonomi, perjuangan seorang ibu yang seperti Bu Nur inilah yang saya hargai Jangan menyalahkan mereka karena alasan agama tapi coba berdayakan mereka supaya mereka meninggalkan pekerjaan yang melanggar akidah..

  11. Oooh kirain pelacur apaan buuuu

  12. ini problem etis, sama aja kita tanya robin hood itu pahlawan atau pencuri? mencuri untuk nolong orang miskin…yang baik berbenturan dengan yang salah, dan yang benar berbenturan dengan yang tidak baik. Ga tau mana yang bener mana yang salah kalo udah problem etis itu, bukan ga tau sbnrnya, tp ga mau otoritas Tuhan sebagai hakim yang agung dan adil untuk nentuin mana yg bnr ato salah..

Leave a reply to bellaferta Cancel reply